Artists in Focus
WANITA:
Ika Vantiani, Marishka Soekarna and Ayu Dila Martina
WANITA: Female Artivism – Jakarta! brings together three artists from Jakarta to explore the new era of creative expression as ‘wanita’ (women). We spoke to artists Ika Vantiani, Marishka Soekarna and Ayu Dila Martina about their journey and experimental craftivism in Jakarta.
WANITA: Female Artivism – Jakarta! adalah pameran yang dirancang tiga seniman perempuan dari Jakarta, yang menjelajahi adanya era baru kesenian yang dipimpin oleh para seniman ‘wanita’. FCAC sempat mewawancarai Ika Vantiani, Marishka Soekarna dan Ayu Dila Martina mengenai perjalanan mereka di dunia seni experimental di Jakarta.
Interview
How did the three of you become artists? What was that journey like for each of you?Seperti apa perjalanan yang ditempuh kalian bertiga supaya bisa menjadi seniman?
IKA: My journey started in 2008 when I began exploring collage art as a stand-alone artform, whereas before I only used it to make zines. I had my first group show in 2009 and later that year I opened my etsy shop. That’s where it started. Many more exhibitions and workshops have followed!
MARISHKA: Since I was a kid, I always loved to draw and make things. I never really knew about art back then, what is an artist, etc. I only knew that Art = becoming a painter. I went to art school, majoring in something I had no clue about – printmaking. Turns out that was the best decision I’ve ever made. After I graduated, I moved back to Jakarta and applied for jobs at advertising agencies. Three years later, I realised that I wasn’t happy, working in an office and doing something without passion. I quit and started a small business and began to draw again. In 2010, I was asked to do a trio exhibition at ruangrupa, Jakarta and from then on I felt my passion for art was growing.
AYU: Ever since I was small, I always liked to draw. But I never thought that I would become an artist, because that profession is not a common one for my family. It was only when I started a degree in printmaking, that the profession and broader art world began to reveal itself to me. Apart from drawing, I also make and design clothing and I gain a lot of work from this skill, to the point where I see myself as a fashion designer dabbling in fine arts, or a part-time artist, who also does many other things.
IKA: Perjalanan saya dimulai pada tahun 2008 ketika saya mulai menjelajahi seni kolase sebagai artform sendiri. Sebelumnya saya hanya menggunakan kolase untuk membuat zine . Saya ikut pameran group saya yang pertama pada tahun 2009 dan pada saat yang bersamaan memulai toko etsy saya. Dari situlah saya menjadi giat mengadakan pameran dan lokakarya secara terus menerus!
MARISHKA: Sejak saya kecil, saya selalu suka menggambar dan berkarya . Waktu itu saya belum begitu mengerti tentang seni, apa maksudnya menjadi seniman dll. Saya hanya tahu bahwa Art = pelukis. Saya lalu kuliah dan mengambil jurusan Seni, dengan major Printmaking, sesuatu yang saya sama sekali tidak mengerti pada waktu itu. Ternyata keputusan tersebut adalah keputusan terbaik yang pernah saya lakukan. Setelah saya lulus, saya kembali ke Jakarta dan mulai melamar pekerjaan pada perusahaan-perusahaan advertising. Tiga tahun kemudian , saya menyadari bahwa saya tidak merasa senang, bekerja sebagai orang kantoran dalam pekerjaan yang tidak melibatkan passion saya. Saya lalu menghentikan diri dan memulai bisnis saya sendiri dan mulai menggambar kembali. Pada tahun 2010, saya diminta untuk melakukan pameran trio di ruangrupa, Jakarta dan sejak saat itu saya merasa passion saya untuk kesenian semakin bertumbuh!
AYU: Dari kecil saya memang sudah suka menggambar, tetapi tidak terfikirkan untuk menjadi seniman, karena profesi tersebut tidak umum bagi keluarga saya. Setelah memasuki kuliah di jurusan seni rupa grafis (printmaking), maka mulai terbukalah profesi dan dunia seni sebenarnya seperti apa. Selain menggambar, saya juga mempunyai hobi untuk membuat dan mendesain pakaian, dan pekerjaan saya juga banyak di bidang ini, jadi hingga saat ini saya lebih menganggap diri saya adalah seorang fashion designer yang senang berkarya dan berpameran seni rupa, atau part time artist yang juga mengerjakan hal-hal lain.
What was it like to curate the exhibition, “WANITA: FEMALE ARTIVISM- JAKARTA!”?
Seperti apa proses mempersiapkan exhibition “WANITA: FEMALE ARTIVISM- JAKARTA!”?
IKA: The three of us are pretty busy with our own things. So we set up a Whatsapp group to stay in contact and motivate each other. We have had regular meetings in my house to talk and share. We are really lucky to be surrounded by such talented female artist friends and the ruangrupa crew, of course.
MARISHKA: I had mixed feelings at first because this will be my first trip overseas. It was terrifying for me. But then, along the way, there was good communication with Footscray Community Arts Centre and WANITA. The chemistry I feel between the artists is also nice. The process of working is exciting because I get the chance to try new techniques that I have never tried before. The works to be exhibited really show who I am. Overall, it has been really exciting!
AYU: For this exhibition, we are working on the concept of ‘works by women’. How different labels are used to describe ‘women’ in ways that are contradictory to how they are perceived, understood and valued by wider society. In this exhibition, there will be several series of different techniques and concepts, including drawings, stitching and screenprints. I have also been gathering some found objects that I will be recycling into a new work.
IKA: Kami bertiga cukup sibuk dengan kegiatan-kegiatan kami masing-masing. Kami memulai kelompok Whatsapp untuk terus berhubungan dan saling memotivasi. Selain mengadakan pertemuan rutin di rumah saya untuk mendiskusikan pameran WANITA, kami juga sangat beruntung karena banyak dibantu seniman-seniman perempuan lainnya dan komunitas ruangrupa, tentunya!
MARISHKA: Pada awalnya, perasaan saya tercampur aduk karena proyek merupakan perjalanan pertama saya ke luar negeri . Itu menakutkan bagi saya! Tapi kemudian, di sepanjang jalan , terjalin komunikasi yang baik dengan Footscray Community Arts Centre dan WANITA . Hubungan antara para seniman baik di Melbourne maupun di Jakarta juga terasa erat. Proses kerja ini menarik karena saya mendapatkan kesempatan untuk mencoba teknik-teknik baru yang belum pernah saya coba sebelumnya . Karya-karya yang akan dipamerkan benar-benar menunjukkan jati diri saya. Over all, it has been really exciting!
AYU: Pada pameran ini saya menganbil konsep karya tentang perempuan, bagaimana sosok perempuan bisa mempunyai beberapa label yang sangat bertolak belakang dari penerimaan dan nilainya di masyarakat yang universal. Pada karya ini akan ada beberapa seri judul yang berbeda tehnik pengerjaannya sesuai dengan konsepnya, mulai dari drawing, sulam dan juga sablon, saya juga mengumpulkan beberapa objek temuan yang akan saya olah kembali di dalam karya.
Can you tell us a bit about the contemporary arts scene in Jakarta that you are a part of?
Bagi yang kurang tahu, bisa ceritakan sedikit tentang komunitas seni kontemporer di Jakarta?
IKA: I think the most interesting part of the contemporary art scene is how open and rich it has become. To see friends that you used to hang out with now having their own group show and art collective – something that you never thought would happen! Also, so many new creative spaces that accommodate artists and crafters to have their own gigs, it’s truly motivating!
MARISHKA: From my observation, public interest in fine arts in Jakarta has grown exponentially. This is evident in how many workshops and independent arts discussions have been open to the public, the growth of alternative spaces for exhibitions, opportunities for artists to take up residencies overseas and public education for fine arts, as delivered by the artistic communities themselves. Apart from public appreciation, many of the younger generation also seem to want to be involved with artistic communities.
AYU: I am involved with the ruangrupa artist collective where I see a lot of the younger generations’ enthusiasm for fine arts. There’s always an exhibition or workshop happening. I hope that this isn’t just a passing trend, but rather something that will keep growing if supported by an educational awareness and informal discussions.
IKA: Kalangan seni kontemporer di Jakarta sangat terbuka dan kaya akan karya. Saya telah banyak melihat teman-teman pergaulan saya mengadakan group show mereka sendiri dan mendirikan art collective- sesuatu yang sebelumnya tidak pernah kami bayangkan dapat terjadi! Selain itu, begitu banyak ruang kreatif baru yang bermunculan untuk melayani seniman dan perajin supaya bisa mengadakan acara mereka sendiri, itu benar-benar memotivasi saya!
MARISHKA: Berdasarkan pengamatan saya, ketertarikan akan seni rupa di Jakarta sangat maju pesat. Ditandai dengan banyak workshop/diskusi seni yang independen yang terbuka untuk publik, kemunculan alternatif space untuk berpameran, kesempatan seniman untuk beresidensi di luar Indonesia juga sangat banyak, edukasi publik untuk seni rupa juga banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas seni disini. yang juga terasa berbeda menurut ku adalah ketertarikan publik dalam menikmati seni rupa yang sangat meningkat, dan selain hanya menikmati, anak-anak muda nya juga banyak yang ingin terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan komunitas-komunitas seni disini.
AYU: Saat ini saya tergabung dan bekerja di ruangrupa artist initiative, yang saya lihat bahwa antusiasme anak muda tentang skena seni rupa ini cukup tinggi, cukup banyak pameran-pameran, workshop yang diadakan, yang saya harapkan bahwa hal ini bukan hanya menjadi trend saja tetapi semoga didukung dengan kesadaran edukasi dan diskusi nonformal yang juga penting.
Image: Marishka Soekarna
What are some of the challenges that you experience as artists?
Tantangan-tantangan apa yang kalian hadapi sebagai seniman?
IKA: I think one of the biggest obstacles is the way people perceive art itself in Indonesia. It still has a long way to go in being accepted and appreciated properly. Being an artist requires us to do most of the things ourselves and individually due to the low level of support. The infrastructure itself is far from adequate.
MARISHKA: In brief: time management and money. Sometimes, when making new works and experimenting, I have to buy new tools and materials. And sometimes this doesn’t come cheap. As an artist in Jakarta, I also have to have an income. Maybe this is also the reason why in Jakarta there are many multi-disciplinary artists, because we have to work for our living and to fulfill our need for new tools. Another challenge is how to work with my moods. My process of creation really depends on my mood, which relies on timing and what I am aspiring to do. I cannot force my mood when it comes to producing artistic works. If I have to force it, that’s when it becomes a ‘job’.
AYU: One personal challenge for me is time management to include other work apart from my art making.
IKA: Saya pikir salah satu kendala terbesar adalah pandangan masyarakat umum terhadap kesenian di Indonesia. Masih butuh perjalanan panjang agar kesenian dapat dihargai dan diterima dengan baik. Menjadi seorang seniman di Indonesia mengharuskan kita untuk mengambil inisiatif sendiri oleh karena rendahnya dukungan dari masyarakat, namun juga kurangnya infrastruktur yang tersedia bagi para seniman.
MARISHKA: Singkatnya : manajemen waktu dan uang . Kadang-kadang, ketika membuat karya-karya baru dan bereksperimen , saya harus membeli alat-alat dan bahan baru, sesuatu yang tidak murah! Sebagai seniman di Jakarta , saya juga harus mendapati penghasilan. Mungkin oleh karena ini, di Jakarta ada banyak seniman multi-disiplin , karena kita harus bekerja untuk menghidupi diri dan untuk memenuhi kebutuhan untuk alat-alat baru . Tantangan lain adalah bagaimana berkarya dengan cara mengikuti ‘mood’ atau suasana hati saya. Proses penciptaan saya benar-benar tergantung pada suasana hati saya , niat saya dalam berkarya itu apa dan ‘good timing’. Saya tidak bisa memaksakan ‘mood’ yang cocok untuk memproduksi karya seni . Jika saya harus memaksa , saat itulah ia menjadi ‘ pekerjaan ‘ atau ‘job’.
AYU: Bagi saya pribadi adalah bagaimana membagi waktu dengan pekerjaan
What can people expect from the workshop and conversation that you will be holding at Footscray Community Arts Centre?
Apa yang dapat orang harapkan dari Workshop dan Conversation yang akan diadakan di Footscray Community Arts Centre ?
IKA: We are going to showcase how awesome Jakarta female artists and crafters are and of course, explore ideas about being a woman and so much more!
MARISHKA: A good time! We’ll be discussing topics about being a woman, the difference in how we are perceived socially according to our genders. We will be looking at the different words that are used to describe ‘women’ in Indonesian, Australian English and other languages. The Free Conversation will give a comprehensive view on female artists in Jakarta.
AYU: I hope that apart from creating an artwork, people will come to reflect on their personal identities, either as women or reflecting on where they come from. During the Conversation, I will speak about my work as an exhibition organiser at ruangrupa and other spaces. I will also be bringing some photos so people are able to picture the fine arts scene in Jakarta!
IKA: Kami akan menampilkan karya-karya luar biasa dari seniman dan perajin perempuan Jakarta dan tentu saja , menjelajahi ide-ide tentang identitas kontemporer ‘perempuan’ dan masih banyak lagi!
MARISHKA: Pengalaman yang asik! Melalui workshop kolase, kami akan membahas identitas kontemporer ‘wanita’ dan pandangan-pandangan sosial terhadap ‘gender’. Kami akan mendalami berbagai macam kata-kata dan peri bahasa yang ada untuk menggambarkan ‘perempuan ‘ dalam Bahasa Indonesia , bahasa Inggris Australi dan bahasa lainnya. Acara Conversation akan memberikan kesempatan untuk membahas secara mendalam tentang komunitas seniman-seniman perempuan di Jakarta.
AYU: Saya berharap nanti selain berkarya, orang-orang akan bisa memikirkan kembali tentang identitas dirinya sebagai wanita ataupun tempatnya berasal pada workshop WANITA ini. Pada FGD saya akan membahas tentang pekerjaan saya sebagai penyelenggara pameran yang di adakan beberapa kali di ruangrupa dan juga di luar, saya akan berbagi pengalaman dan juga foto-foto agar orang-orang bisa membayangkan kira-kira skena seni rupa anak muda di Jakarta itu seperti apa dari contoh yang saya bawa.
WANITA: Female Artivism – Jakarta! opens 1 October with exhibition at FCAC Gabriel Gallery, with workshop and conversation on 3 and 4 October.
Acara pembukaan pameran WANITA: Female Artivism – Jakarta! akan berlangsung pada tanggal 1 Oktober 2015 di FCAC Gabriel Gallery, disambung dengan Workshop pada tanggal 3 Oktober dan Bincang Bersama pada tanggal 4 Oktober.
IMAGES
Carousel 1 – Ika Vantiani
Carousel 2 – Marishka Soekarna
1, 3-5 – Marishka Soekarna
2 – Ika Vantiani